Ketua Dewan Nasional SETARA institute Hendardi menilai pemberian gelar pahlawan bagi Presiden RI Ke-2 Soeharto tidak relevan dan problematik. Menurutnya, Soeharto tak layak mendapat gelar terhormat itu lantaran memiliki track record buruk di masa lalu.
“Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional,” ujar Hendardi, Kamis (24/4).
Dia menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, ada syarat umum dan syarat khusus untuk mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Adapun syarat umum yang diatur Pasal 24 UU adalah 1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI, 2) memiliki integritas moral dan keteladanan, 3) berjasa terhadap bangsa dan negara, 4) berkelakuan baik, 5) setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, 6) tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Mengacu pada syarat umum poin 4 (empat), Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional karena berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik,” terangnya.
Belum lagi soal Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga dan elite inti di sekitarnya.
“Akumulasi persoalan itu yang secara objektif menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan oleh Gerakan Reformasi 1998. Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik,” imbuhnya.
Selain itu, lanjutnya pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bermasalah secara sosial-politis. Dari sisi politis, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru atau Kebangkitan Cendana.
“Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi Reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritaritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998,” katanya. (Red)