Fadhli Harahab
Dir. Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Indonesia
Ibarat sejoli yang hendak membina biduk rumah tangga, maka akad dalam sebuah perkawinan adalah keharusan yang mengikat. Akad bukanlah cuap-cuap kata yang keluar tanpa tanggungjawab moral dan materil.
Di dalam akad terkadung perjanjian dan kesepakatan suci yang dilandasi rasa cinta dalam rangka menyukseskan jalannya kehidupan bersama. Di dalam akad itu pula terselip pesan yang dimaknai sebagai sebuah ikatan untuk saling setia, menjaga dan mengasihi.
Sumpah dan janji yang dibangun oleh satu rasa untuk saling menerima dan menghormati dalam rangka membangun keluarga yang tentram, damai lagi sejahtera.
Pancasila sebagai sebuah akad, dapat dimaknai sebagai janji dan kesepakatan bersama yang dilandasi rasa yang sama untuk membangun bangsa indonesia ke depannya. Kesepakatan yang didasarkan oleh keinginan untuk merdeka dan berdaulat serta mengurus diri sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Memaknai Trisila, Ekasila
Bagi kelompok nasionalis kebangsaan, pidato Bung Karno 1 Juni 1945 merupakan satu tarikan nafas dengan trisila atau ekasila, walaupun itu hanya sekadar gagasan yang ditawarkan.
Ide awal yang tak terpisahkan dari sejarah rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Apakah usulan trisila atau ekasila Bung Karno itu ditolak? Tidak. Dinyinyirin? Tidak juga. Melenceng dari tafsiran Pancasila? Gak juga.
Kala itu memang terjadi dialog yang cukup alot antara kelompok nasionalis kebangsaan dan nasionalis islam. Kelompok islam ngotot tujuh kata yang kita kenal sebagai piagam jakarta menjadi norma dalam Pancasila. Kompromi kedua kelompok ini akhirnya menemui mufakat yang menghasilkan teks pancasila yang sering kita baca saat upacara bendera.
Trisila dan ekasila yang menjadi polemik karena dituding mereduksi makna pancasila tentu saja hanya kekhawatiran. Sejak awal trisila dan ekasila bukanlah perasan yang mengeringkan tafsiran dan mendangkalkan kedalaman makna, pencetusnya sendiri menegaskan pancasila bersifat dinamis.
Begitu juga saat trisila dan ekasila dituding sekuler. Padahal sila ketuhanan yang berkebudayaan merupakan akar dari sila-sila lainnya. Akar yang tak tampak tapi menumbuhkan dan menyeimbangkan apa yang di atasnya. Jadi, ada relasi utuh dan tak terpisahkan antara Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan.
“Ketuhanan” yang mengandung nilai-nilai universal terserap dari tradisi agama-agama, nilai etis yang menjadi common value dan sudah menjadi jati diri bangsa. Kepasrahan, Persatuan, kedamaian, kebajikan, kemaslahatan, permusyawaratan, keadilan dan kesejahteraan, bukankah merupakan esensi dari nilai-nilai itu?
Ibarat Samudra dan laut yang memiliki kekhasan struktur dan makhluk tetap saja itu adalah air asin yang melingkupi daratan. Demikian juga nilai Ketuhanan dan Agama, tak bisa dipisahkan tetapi bukan berarti tidak bisa dibedakan.
Di Islam ada konsep Tauhid, di Kristen dan Katolik ada konsep trinitas dan di Hindu ada konsep Tat Twam Asi. Perbedaan konsep ini pula selaras dengan macam bentuk ritual pemujaan kepada Tuhan. Tetapi bukan berarti perbedaan konsep dan ritual itu lantas menjadi persoalan yang membenturkan satu sama lainnya. Konsep yang mesti dipahami sebagai sebuah realitas yang bergradasi sehingga kita tidak melulu terjebak dalam perseteruan yang tak ada habisnya.
Dalam konteks inilah, penulis menilai Bung Karno memiliki visi pemikiran yang melampaui zamannya. Bung Karno mampu mengabstraksi fakta realitas menjadi sebuah ide universal yang mengakomodir berbagai perbedaan menjadi kesatuan yang kokoh.
Ketuhanan yang mampu merangkum esensi dari berbagai hikmah dan pokok ajaran agama, berupa nilai-nilai universal dan bersifat abadi, meta-ritual serta mencerahkan.
Dari pokok pikiran ini, Bung Karno lantas menyandingkan dengan diksi “Berkebudayaan”. Istilah yang lahir dari kehendak manusia itu sendiri. Kehendak untuk mengatur dirinya sendiri karena hanya manusialah yang memiliki kebudayaan.
Dari istilah itu, Bung Karno mengatakan, meskipun berbeda dalam hal keyakinan dan ritual harus saling menghormati, tidak saling menghujat dan membenci. Tetapi hidup rukun dan saling membantu, sebagaimana arifnya kehidupan leluhur nusantara.
“Ketuhanan yang berkebudayaan” ini pula yang mendasari pemikiran Bung Karno untuk mendirikan sebuah negara di atas semua golongan. Dan menegaskan bahwa Indonesia dibangun bukan atas asas agama tertentu melainkan asas ketuhanan.
Bung Karno bukan hendak menjauhkan agama dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi, lebih daripada itu Bung Karno ingin menanamkan agama dan nilai relijiusitas dalam setiap pribadi masyarakat indonesia bahkan negara. Bisa dikatakan Indonesia adalah negara beragama dan bukan negara agama.
“Marilah kita semua bertuhan. Hendaklah negara indonesia adalah negara yang tiap orangnya dapat menyembah tuhannya dengan leluasa. Seluruh rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan yakni dengan tiada egoisme agama,” tegas Bung Karno.
Selanjutnya, puncak dari kristalisasi pemikiran Bung Karno dalam meletakkan dasar negara tertuang dalam istilah gotongroyong (ekasila). Ia bisa disebut sebagai fundamental, tidak hanya dalam hal membangun bangsa tetapi juga membangun peradaban dunia.
Melalui sikap bergotongroyong, kita telah memaknai sila-sila lainnya sebagai satu kesatuan dan memaknai moral ketuhanan sebagai landasan etisnya. Bukankah setiap agama dan manusianya mengajarkan itu?
Jadi, sangat keliru jika ada yang memplesetkan ekasila sebagai ajaran komunis yang bersumber dari slogan sama rasa, sama rata.
Artikel ini juga sudah diterbitkan di Kompasiana.com